Minggu, 21 Desember 2008

Wound care

EFEKTIOFITAS ALOE VERA DAN NORMAL SALINE 0,9% DALAM PERAWATAN LUKA e="font-weight:bold;">
Sugeng Mashudi
Bagian keperawatan komunitas-FIK UMSurabaya

PENDAHULUAN
Perawatan luka dengan menggunakan Aloe Vera masih menjadi kontroversi. Beberapa rumah sakit diluar negeri telah menerapkan metode ini tetapi rumah sakit di Indonesia belum ada yang menerapkan. Zat yang terkandung dalam gel Aloe Vera diduga kuat berperan dalam proses percepatan penyembuhan luka (Plaskett L, 2003). Namun mekanisme kerja dari zat yang terkandung dalam Aloe Vera belum banyak dibahas. Perawatan luka yang banyak dikembangkan diberbagai rumah sakit di Indonesia saat ini adalah menggunakan Chlorhexidine gluconate 1.5%. serta pemakaian Normal Saline 0,9 %. Saat ini dibeberapa Rumah Sakit Chlorhexidine Gluconate 1.5% merupakan anti septik utama yang digunakan didalam perawatan luka. Hal itu disebabkan Chlorhexidine gluconate 1.5% masih dianggap sebagai anti mikroba paling kuat yang dapat mematikan pertumbuhan bakteri gram positif maupun gram negative termasuk mikroorganisme yang resisten terhadap antibiotic, spora, jamur maupun virus (Fredrick P, 2003). Namun penggunaan Chlorhexidine gluconate 1.5% belum memberikan kontribusi yang optimal. Kandungan Cetrimide yang terdapat pada Chlorhexidine Gluconate 1.5% sering menimbulkan iritasi pada luka, perubahan warna kulit dan memicu timbulnya scarr (Frederick P, 2004). Di samping hal tersebut penerapan perawatan luka dengan menggunakan Aloe Vera perlu dipertimbangkan.

PEMBAHASAN
Perawatan Luka Insisi/Luka Bedah
Luka dapat digambarkan sebagai gangguan dalam kontinuitas sel-sel. Pada luka akan terjadi penyembuhan yang merupakan pemulihan kontinuitas tersebut. Ketika terjadi luka, beragam efek dapat terjadi : (1) kehilangan segera semua atau sebagian fungsi organ, (2) respon stress simpatis, (3) hemoragi dan pembekuan darah, (4) kontaminasi bakteri dan (5) kematian sel (Brunner S, 1996). Asepsis yang cermat adalah faktor paling penting untuk meminimalkan dan meningkatkan keberhasilan perawatan luka (Sylvia A; Lorraine M, 1995).












Figur 1 Penampang Kulit (Sylvi A Loraine, 1995)
Klasifikasi Luka
Luka dapat diklasifikasikan berdasar: mekanisme cedera dan tingkat kontaminasi luka saat pembedahan (Brunner S, 1996). Pada kelas luka berdasarkan mekanisme cedera luka dapat digambarkan sebagai luka insisi, luka kontusi, luka laserasi, atau luka tusuk.
1. Luka insisi dibuat dengan potongan bersih dengan menggunakan instrument tajam, sebagai contoh luka yang dibuat oleh ahli bedah dalam setiap prosedur operasi. Luka bersih (luka yang dibuat secara aseptik) biasanya ditutup dengan jahitan setelah semua pembuluh yang berdarah diligasi dengan cermat.
2. Luka kontusio dibuat dengan dorongan tumpul dan ditandai dengan cedera berat bagian yang lunak, hemoragi, dan pembengkakan.
3. Luka laserasi adalah luka dengan tepi yang bergerigi, tidak teratur, seperti luka yang dibuat oleh kaca atau goresan kawat.
4. Luka tusuk diakibatkan oleh bukaan kecil pada kulit, sebagai contoh: Luka yang dibuat oleh peluru atau tusukan pisau.
Pada luka berdasarkan tingkat kontaminasi, dapat dikelompokkan sebagai luka bersih, kontaminasi bersih, terkontaminasi, atau kotor atau terinfeksi.
1. Luka bersih adalah luka bedah tidak terinfeksi dimana tidak terdapat inflamasi dan kontaminasi, contohnya : luka-luka dari saluran pernapasan, saluran pencernaan, genital, atau saluran kemih. Luka bersih biasanya dijahit tertutup; jika diperlukan, dengan sistem drainase tertutup. Kemungkinan relatif dari infeksi luka adalah 1% sampai 5%.
2. Luka kontaminasi bersih adalah luka bedah yang terkontaminasi dari saluran pernapasan, saluran pencernaan, genital, atau saluran kemih tetapi masih dibawah kondisi yang terkontrol dan tidak terdapat kontaminasi yang tidak lazim. Kemungkinan relatif infeksi luka adalah 3% sampai 11%.
3. Luka terkontaminasi mencakup luka terbuka, baru, luka akibat kecelakaan. Prosedur bedah terjadi dengan pelanggaran dalam teknik aseptik atau semburan dari saluran gastrointestinal; termasuk dalam kategori ini adalah insisi di mana terdapat inflamasi akut, non purulen. Kemungkinan relatif dari infeksi luka adalah 10% sampai 17%.
4. Luka kotor atau terinfeksi adalah luka dimana organisme yang menyebabkan infeksi pasca operatif terdapat dalam lapang operatif sebelum pembedahan. Hal ini mencakup luka traumatic yang sudah lama dengan jaringan yang terkelupas, tertahan, dan luka yang melibatkan infeksi klinik yang sudah ada atau visera yang mengalami perforasi. Kemungkinan relative infeksi luka adalah lebih dari 27%.

Penyembuhan Luka
Penyembuhan adalah penggantian sel-sel yang mati atau rusak oleh sel yang sehat yang berasal dari sel parenkim maupun stroma jaringan ikat dari organ yang mengalami trauma. Pada dasarnya pada proses ini dapat dibedakan menjadi empat tahapan yang utama (Kumar R, 1995) :
1. Fibrinous union
Perdarahan terjadi karena kerusakan kapiler. Pembekuan darah yang terjadi akan menghasilkan anyaman fibrin yang akan merekatkan tepi luka dan akan mengawali proses penyembuhan. Perlekatan ini lemah dan mudah rusak. Hal ini yang menjadi alasan mengapa luka perlu untuk dilakukan fiksasi dengan menjahit luka yang terlalu lebar. Adanya sel-sel radang akut juga membantu pembentukan anyaman fibrin.
2. Granulasi tissue union
Anyaman fibrin menjadi sebuah kerangka dalam pertumbuhan jaringan dan merangsang pembentukan jaringan ikat. Fibroblast dan histiosit akan segera bergerak ke dalam fibrin disertai juga pembentukan kapiler baru. Pembentukan kapiler dan infiltrasi fibroblast ini yang disebut jaringan granulasi, jaringan ini akan lengkap pada tiga hari dengan kekuatan yang lebih dari pada fibrin.
3. Fibrous tissue union
Setelah beberapa hari, fibroblast akan membentuk reticulin dan kolagen. Pada saat ini makrofag juga mulai membersihkan debris sisa injuri. Setelah enam sampai sepuluh hari jaringan kolagen sudah terbentuk. Bersamaan dengan bertambahnya kolagen juga terjadi pengurangan vaskularisasi sehingga banyak kapiler yang tidak mendapat vaskularisasi.
4. Epidermal healing
Sel-sel epidermal yang terputus akan menyambung kembali dengan cara mengalami hipertropi dan hiperplasi, namun penutupan ini tidak kembali seperti sebelum terjadi luka karena banyak kelenjar rambut yang tidak terbentuk lagi.
Mekanisme Penyembuhan Luka
Penyembuhan merupakan proses yang teratur, sel-sel akan berproliferasi sampai luka tertutup dan akan berhenti. Begitu juga dengan sel radang dan pembuluh darah yang pada saat injuri aktif, begitu luka tertutup akan tidak aktif lagi. Fenomena ini terkontrol dengan baik, yang diantaranya dipengaruhi (Gaylene, 2000) :
1. Interaksi antar sel
Reepitalisasi luka bedah akan mulai terjadi setelah 24 jam dan celah akan tertutup setelah 48 jam. Sel-sel ini akan terus berproliferasi sampai bertemu dengan sel yang lain, mekanisme ini dinamakan inhibisi kontak. Mekanisme ini dibuktikan pada sel yang akan ditanam pada cawan petri, sel akan berhenti membelah setelah seluruh cawan padat dengan sel.
2. Interaksi sel matrik
Matrik ekstra sel ternyata juga mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan sel. Pada matrik ini diantaranya terdapat kolagen, glikosaminoglikan, proteoglikan, dan glikoprotein. Salah satu glikoprotein adhesif yang sudah diketahui adalah fibronektin yang merupakan glikoprotein dengan berat molekul yang tinggi. Pada saat luka, kandungan fibronektinnya jauh lebih tinggi. Karena daya adhesifnya, fibronektin akan mempermudah sel apitel dan sel radang bermigrasi. Fibronektin juga dapat menarik monosit dan fibroblast yang sangat penting dalam proses penyembuhan. Ketika luka mulai terjadi pemulihan maka kandungan fibronektin akan mulai berkurang, sehingga dapat disimpulkan seolah fibronektinlah yang mengatur proses penyembuhan.
3. Proses pertumbuhan
Faktor-faktor perangsang pertumbuhan yang telah diketahui antara lain : faktor pertumbuhan epidermis (EGF), faktor pertumbuhan saraf (NGF), dan faktor pertumbuhan derifat trombosit. Semua faktor pertumbuhan tersebut merupakan polipeptida yang mirip hormon. Pengaruh faktor pertumbuhan telah dibuktikan dengan penelitian perbenihan jaringan.
Beragam proses seluler yang saling tumpang tindih dan terus menerus memberikan kontribusi terhadap pemulihan luka adalah regenerasi sel, proliferasi sel, dan pembentukan kolagen. Respon jaringan terhadap cedera melewati beberapa fase : Inflamasi, proliferatif, dan maturasi (Brunner S, 1996), yang akan diuraikan sebagai berikut :
1. Fase inflamasi.
Respon vaskuler dan seluler terjadi ketika jaringan terpotong atau mengalami cedera. Vasokontriksi pembuluh darah terjadi dan bekuan fibrinoplatelet terbentuk dalam upaya untuk mengkontrol perdarahan. Reaksi ini berlangsung dari lima menit sampai sepuluh menit dan diikuti fase dilatasi vena. Mikrosirkulasi hilangnya kemampuan vasokontriksi karena norepinefrin yang berperan pada vasokontriksi sudah dirusak oleh enzim intraseluler. Pada luka, histamine yang juga dilepaskan akan meningkatkan permeabilitas kapiler. Ketika mikrosirkulasi mengalami kerusakan, elemen darah seperti antibodi, plasma protein, elektrolit, komplemen, dan air menembus jaringan sekitar pembuluh darah yang rusak selama dua sampai tiga hari, sehingga terjadi edema, teraba hangat, kemerahan, dan nyeri. Netrofil adalah lekosit pertama yang bergerak ke dalam jaringan yang rusak. Monosit yang berubah menjadi makrofag akan menelan debris dan memindahkannya dari area tersebut. Antigen antibodi juga akan terbentuk. Sel-sel pada basal pada pinggir luka mengalami mitosis dan menghasilkan sel-sel anak yang bermigrasi. Adanya aktifitas ini, menyebabkan enzim proteolitik disekresikan dan menghancurkan bagian dasar bekuan darah. Celah antara kedua sisi luka secara progresif terisi, dan kedua sisi tersebut pada akhirnya saling bertemu. Pada saat itu migrasi sel ditingkatkan.
2. Fase proliferatif
Fibroblast memperbanyak diri dan membentuk jaringan-jaringan untuk sel-sel yang bermigrasi. Sel-sel epitel membentuk kuncup pada pinggiran luka; kuncup ini berkembang menjadi kapiler, yang merupakan sumber nutrisi bagi jaringan granulasi yang baru. Kolagen adalah komponen utama dari jaringan epitel yang digantikan. Fibroblast melakukan sintesis kolagen dan mukopolisakarida. Dalam periode dua sampai empat minggu, rantai asam amino membentuk serat-serat dengan panjang dan diameter yang meningkat. Serat-serat ini menjadi kumpulan bundel dengan pola yang tersusun baik. Sintesis kolagen menyebabkan kapiler menurun jumlahnya. Setelah itu, sintesis kolagen menurun dalam upaya untuk menyeimbangkan jumlah kolagen yang rusak. Sintesis dan lisis seperti ini mengakibatkan peningkatan kekuatan. Setelah dua minggu, luka hanya memiliki 3% sampai 5% dari kekuatan kulit aslinya. Sampai akhir bulan, hanya 35% sampai 59% kekuatan tercapai. Tidak akan lebih dari 70% sampai 80% kekuatan dicapai kembali. Banyak vitamin, terutama vitamin C membantu dalam proses sintesa kolagen yang terlihat dalam penyembuhan luka.
3. Fase maturasi
Sekitar tiga minggu setelah cedera, fibroblast mulai meninggalkan luka. Jaringan parut tambah besar sampai fibril kolagen menyusun ke dalam posisi yang lebih padat. Hal ini sejalan dengan dehidrasi, mengurangi jaringan parut dan peningkatan kekuatannya. Maturasi jaringan seperti ini terus berlanjut dan mencapai kekuatan maksimum dalam 10 atau 12 minggu, tetapi tidak pernah mencapai kekuatan asalnya dari jaringan sebelum luka.

Pengaruh aloe vera dan chlorhexidine gluconate 1.5% pada penembuhan luka
Lignin yang dikandung dalam lendir Aloe vera dapat mempercepat proses terjadinya epitelisasi karena sifatnya yang dapat menyerap air, sehingga kelembapan di daerah luka dapat terjaga. Berdasarkan hasil riset, luka dapat sembuh jauh lebih cepat pada lingkungan lembab dibawah balutan semipermiabel (Winter, 1978; Moya, 2004). Lingkungan yang lembab dapat membantu proses mitosis dan migrasi sel-sel untuk menembus permukaan yang rusak (Silver,1980). Lingkungan yang lembab ini juga bisa diciptakan oleh normal salin 0,9%. Hasil penelitian menunjukkan munculnya epitelisasi lebih cepat terjadi pada kelompok lendir Aloe veradengan 1 kali perawatan perhari, tetapi kecepatan proses epitelisasi secara merata lebih cepat terjadi pada lendir Aloe veradengan 2 kali perawatan. Hal ini terkait dengan kelembapan luka yang lebih terjaga pada kelompok 2 kali perawatan dan mengurangi perlekatan balutan pada luka sehingga meminimalkan resiko cidera pada luka. Lendir Aloe verajuga mengandung kromon yang dalam aktivitasnya dapat menghambat enzim tirosinase pada kulit yang dapat memutihkan kulit (Yagi,1999). Sifat ini dapat membantu proses penyembuhan luka dengan mengurangi terbentuknya jaringan skar sehingga jaringan yang terbentuk lebih halus.Berdasarkan hasil penelitian skar minimal terbentuk pada kelompok lendir Aloe vera2 kali perawatan sehari.

Pengaruh Lendir Aloe veradan Normal Salin 0,9% Terhadap Proses Inflamasi
Pengamatan makroskopis pada fase ini meliputi hilangnya eritema dan hilangya edema selama proses penyembuhan luka.
Kemampuan Aloe Vera dalam mengurangi inflamasi disebabkan oleh kandungan saponin dari golongan steroid dengan efek utamanya mengurangi gejala inflamasi yaitu menghambat eritema, nyeri dan edema (Robinson, 1991).
Adanya mekanisme penghambatan proses inflamasi oleh saponin dapat menghambat granulasi yang berlebihan dan mencegah terbentuknya jaringan parut hipertrofik (Moya, 2004). Kandungan lignin yang didapat dalam Aloe vera juga dapat membantu mengurangi edema dengan mengikat air selama proses inflamasi sehingga sel dan jaringan akan mendapatkan suplai oksigen dan nutrisi untuk kelancaran metabolisme sel itu sendiri dan perbaikan jaringan yang rusak. Ditemukannya kandungan antrakuinon, kuinon dan salisilat juga dapat mengurangi ketidaknyamanan selama proses inflamasi yaitu dengan menangkap radikal bebas yang terbentuk selama inflamasi dan menghambat perubahan asam arakidonat menjadi endoperoksidase oleh enzim siklooksigenase(Robinson 1991, Irni 2004). Enzim protease yang terkandung dalam Aloe verajuga memegang peranan penting dalam fibrinolisis, yaitu proses penghancuran fibrin yang dibentuk dalam pembuluh darah sehingga dapat melancarkan aliran darah (Silvia,1995; Moya, 2004). Enzim protease dapat mempermudah konversi serabut-serabut fibrin yang tidak larut sehingga kembali menjadi fibrinogen yang dapat larut. Suplai darah yang lancar dapat membantu mempercepat proses penyembuhan, karena faktor-faktor yang esensial untuk penyembuhan seperti oksigen, asam amino, vitamin, dan mineral dapat terpenuhi diarea luka tersebut (Moya,2004)
Kemampuan Normal Salin 0,9% dalam mengurangi gejala inflamasi diketahui dari sifatnya yang dapat mengurangi ketidaknyamanan akibat reaksi inflamasi saja karena sifatnya yang dapat menjaga kelembapan (www.bccancer.bc.ca).

Pengaruh Lendir Aloe veradan Normal Salin 0,9% Terhadap Proses Proliferatif
Pengamatan makroskopis pada fase ini meliputi adanya warna merah terang yang menunjukkan adanya granulasi.
Berdasarkan hasil penelitian perawatan dengan lendir Aloe veradengan perawatan 1 kali dan 2 kali perhari paling cepat dalam merangsang granulasi. Berdasarkan hasil uji Anova One Way terdapat perbedaan yang signifikan efektifitas perawatan luka bakar derajat II dengan lendir Aloe veradibandingkan normal salin 0,9% dan kontrol dalam mempercepat timbulnya granulasi(Fhitung granulasi= 20,250 ; Ftabel: 3,056).
Aloe veramengandung asam amino/protein 0,038% ,mineral, karbohidrat 0,043%, vitamin A 4,594 IU, vitamin C 3,476 mg dan lemak 0,067 % yang dapat mendukung proses penyembuhan. Vitamin C sangat berguna untuk sintesis kolagen. Mineral berguna untuk memberi ketahanan terhadap penyakit, menjaga kesehatan dan memberikan vitalitas serta berinteraksi dengan vitamin dalam mendukung fungsi tubuh. Asam amino berguna untuk pertumbuhan dan perbaikan, untuk sintesa bahan lain dan sumber energi misalnya untuk sintesis protein struktural seperti kolagen (Irni,2004). Adanya kandungan zat antibakteri dan antijamur juga dapat menstimulasi fibroblast pada sel-sel kulit yang berfungsi menyembuhkan luka (Hembing, 2004). Bahan-bahan ini dapat mudah larut dengan dibantu saponin. Menurut Gunawan, 2004 saponin bersifat surfaktan sehingga dapat sebagai pengemulsi 2 cairan yang tidak dapat bercampur sehingga dapat membantu peresapan gel ke kulit sehingga sel-sel dan jaringan yang terluka akan mendapat nutrisi untuk kelancaran metabolisme sel dan jaringan yang ditandai dengan adanya granulasi atau warna merah terang. Lignin yang terkandung juga dapat membantu melepaskan balutan luka sehingga dapat mengurangi resiko cidera pada luka. Adanya enzim oksidase, amilase, katalase, lipase dan protease juga dapat membantu proliferatif dalam membentuk jaringan granulasi yaitu untuk mengatur proses kimia dalam tubuh dan menyembuhkan luka dalam dan luar (Irni,2004). Untuk kelompok normal salin 0,9% hanya berpengaruh pada proses pelepasan balutan saja dengan mengurangi resiko cidera pada luka.

Pengaruh Aloe Vera dan Normal Salin 0,9% Terhadap Proses Destruktif
Dengan pengamatan secara makroskopis, pada fase ini terdapat tanda-tanda infeksi dan pengangkatan jaringan nekrosis selama proses penyembuhan.
Kemampuan Aloe Vera sebagai antibakteri dilihat dari adanya kandungan saponin triterpenoid dapat bersifat sebagai antimikroba (Pettit,1991) yang dapat menghambat pertumbuhan dan menghentikan pertumbuhan dari beberapa spesies bakteri tertentu misalnya Pseudomonas serugina, Staphylococus aureus, E coli, Klebsiella pneumoniae serta memiliki efek antifungal (Hembing, 2004). Penelitian Wolfe, 1969 membuktikan bahwa Aloe verasangat efektif membunuh bakteri penyebab infeksi, diantaranya 5 strain mutan Streptococcus. Efek antimikroba juga dapat diperoleh dari sifat lignin yang mampu mengikat air yang ada disekitarnya sehingga bakteri tidak mempunyai air yang cukup untuk proses pertumbuhannya (Syoekor, 2003). Disamping itu lignin juga mampu membantu pengangkatan jaringan nekrosis karena sifat lembab yang dapat membantu pengangkatan dan pelunakkan jaringan nekrosis sehingga dapat mengelupas dengan sendirinya. Dengan mengelupasnya jaringan nekrosis yang lebih awal dapat membantu mempercepat penyembuhan dan mengurangi resiko terjadinya infeksi (Moya,2004). Pengangkatan jaringan nekrosis lebih cepat terjadi pada kelompok lendir Aloe veradengan 2 kali perawatan.
Kemampuan normal salin 0,9% dapat dilihat dari kemampuannya untuk membersihkan luka dan melunakkan jaringan nekrosis saja, tidak untuk mencegah dan menghambat pertumbuhan bakteri sehingga kelompok normal salin memiliki resiko terinfeksi.

Pengaruh Aloe Vera dan Normal Salin 0,9% Terhadap Proses Maturasi
Dengan pengamatan secara makroskopis, fase penyembuhan luka pada proses maturasi ini biasanya muncul epitelisasi dan adanya jaringan skar.
Kandungan zat Lignin yang dikandung dalam Aloe Vera dapat mempercepat proses terjadinya epitelisasi karena sifatnya yang dapat menyerap air, sehingga kelembapan di daerah luka dapat terjaga. Berdasarkan hasil riset, luka dapat sembuh jauh lebih cepat pada lingkungan lembab di bawah balutan semipermiabel (Winter, 1978; Moya, 2004). Lingkungan yang lembab dapat membantu proses mitosis dan migrasi sel-sel untuk menembus permukaan yang rusak (Silver,1980). Lingkungan yang lembab juga bisa diciptakan oleh normal salin 0,9%. Hasil penelitian yang dilakukan oleh heri, 2005 menunjukkan bahwa munculnya epitelisasi lebih cepat terjadi pada kelompok lendir Aloe veradengan 1 kali perawatan perhari, tetapi kecepatan proses epitelisasi secara merata lebih cepat terjadi pada lendir Aloe veradengan 2 kali perawatan. Hal ini terkait dengan kelembapan luka yang lebih terjaga pada kelompok 2 kali perawatan dan mengurangi perlekatan balutan pada luka sehingga meminimalkan resiko cidera pada luka. Aloe vera juga mengandung zat kromon yang dalam aktivitasnya dapat menghambat enzim tirosinase pada kulit yang dapat memutihkan kulit (Yagi,1999). Sifat ini dapat membantu proses penyembuhan luka dengan mengurangi terbentuknya jaringan skar sehingga jaringan yang terbentuk lebih halus.Berdasarkan hasil penelitian skar minimal terbentuk pada kelompok lendir Aloe vera2 kali perawatan sehari.

KESIMPULAN
Lignin yang di kandung dalam lendir Aloe vera dapat mempercepat proses terjadinya epitelisasi karena sifatnya yang dapat menyerap air, sehingga kelembapan di daerah luka dapat terjaga. Selain itu, kandungan saponin yang termasuk golongan steroid tersebut memiliki efek mengurangi gejala inflamasi dengan menghambat eritema, nyeri dan edema
Kemampuan Aloe Vera sebagai antibakteri dilihat dari adanya kandungan saponin triterpenoid dapat bersifat sebagai antimikroba

SARAN
Diperlukan penelitian secara laboratoris untuk mengambarkan efektivitas Aloe Vera dan Normal Saline 0,9% pada penyembuhan luka bersih.


DAFTAR PUSTAKA
Boyd W. (2005). Pathologi Structure and Function in Desease. Dalam www.content.nejm.org (Diakses tanggal 20 November 2008 jam 10.00)

Brunner S. (1996). Buku Ajar: Keperawatan Medikal Bedah Edisi delapan. Diterjemahkan oleh dr. H. Y. Kuncara, dr. Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin Asih, 1997. Jakarta: EGC

Carpenter, J. (2002). Composition of Aloe Vera. USA: University of Hawaii.

Danhof IE. (2004). Myth, magic, witchcraft or fact? Aloe vera revisited. Journal of burn care and rehabilitation, 1982, 3:157–162.

Fall B. (2005). Pathologi of Disease. Dalam www.content.nejm.org (Diakses tanggal 17 November 2008 jam 10.00)

Fredrick P. (2003). Wound Healing Studies in Human Volunteers. Dalam www.woundcare.org (Diakses tanggal 10 Oktober 2008 jam 10.00)

Free, JB. (1995). Bees and Mandlind. London and Noethampton: Alden Press Oxford.

Furnawanthi I. (2004). Khasiat Dan Manfaat Aloe vera. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Gaylene AB et al. (2000). Delmar’s Fundamental and Advanced: Nursing Skill. Canada : Thomson Learning.

Hembing, W. (2004). Aloe vera. Dalam www.pondokrenungan.com (Diakses tanggal 19 November 2008 jam 13.00)

Kemper, K.J, Chiou I. (1999). Aloevera: Potentially Active Chemical Constituent. Dalam www.mcp.edu/herbal (Diakses tanggal 19 November 2008 jam 13.00)

Marison M. (1995). Manajemen Luka, diterjemahkan oleh dr. Tyasmono A. F. 1995. Jakarta: EGC.

Plaskett L. (2001). The Healing Properties of Aloe vera. Dalam www.wholeleaf.com (Diakses Tanggal 16 agustus 2006 jam 13.00)

Rio J. (2003). Khasiat Aloe Vera. Bandung: Pioner Jaya.

Sudarto, Y. (1997). Aloe vera. Kanisius : Yogyakarta.

Suyono et al. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II, Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Sylvia A; Lorraine M. (1995). Patofiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi Empat. Diterjemahkan oleh Dr. Peter Anugerah.1995. Jakarta: EGC.

WHO. (1998). Quality control methods for medicinal plant materials. Geneva : World Health Organization.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kritik dan Saran yang sifatnya membangun senantiasa kami nantikan demi kemajuan Blog ini

http://a.easyhits4u.com/splash15.php?ref=nershudi